28 Juni 2023

Firman Soebagyo: Pasal Tembakau Tak Sesuai Semangat Pembuatan RUU Kesehatan

Berita Golkar - Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, menyoroti pasal-pasal tembakau yang ada pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Dia menilai, aturan tersebut tidak lazim dan tidak sesuai dengan semangat UU yang dirancang karena UU-nya tidak membahas soal komoditi yang berdampak pada kesehatan.

"Yang jelas, ini tidak lazim dan tidak sesuai dengan spirit UU karena UU-nya tidak membahas soal komoditi yang berdampak pada Kesehatan. Kalau kita membahas komoditi yang berdampak pada kesehatan jangan hanya tembakau saja," ujar Firman kepada wartawan, Selasa (27/6/2023).

Pria yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI itu menjelaskan, lahirnya RUU Kesehatan merupakan inisiasi Baleg DPR. Tujuannya adalah ingin menyempurnakan tata kelola pelayanan kesehatan yang sekarang ini dianggap masih kurang baik, padahal pelayanan kesehatan merupakan hak masyarakat sebagaimana yang diamanatkan konstitusi.

Prinsip dasar itu kemudian disampaikan kepada pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk bisa disusun bersama. Dia menerangkan, saat ini, pelayanan kesehatan yang ada masih jauh dari apa yang diharapkan. Jumlah dokter yang tersedia masih jauh daripada mencukupi.

"Kemudian juga untuk pengadaan kebutuhan dokter spesialis saja itu masih jauh daripada yang kita harapkan. BPJS juga. Perlu penataan ulang," jelas dia.

Baca Juga: Mukhtarudin Desak KPK Selidiki Kebocoran Ekspor 5 Juta Ton Bijih Nikel Ke China

Pasal-pasal terkait tembakau yang terkandung dalam RUU Kesehatan menyetarakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika serta minuman beralkohol. Dia tak sepakat dengan aturan itu karena narkotika dilarang hukum atau dengan kata lain ilegal. Itu berbeda dengan tembakau yang legal.

"Semua produk yang resmi, ada izin dan sebagainya itu adalah hak asasi manusia. Jadi, tidak ada satupun yang dilanggar oleh industri tembakau apalagi petani tembakau," kata dia.

Menurut Firman, Mahkamah Konstitusi saja sudah membuat kebijakan dengan mengambil keputusan bahwa tanaman tembakau itu adalah tanaman yang legal. Bahkan, ketika ada anggota masyarakat yang menggugat agar tidak boleh memasang iklan produk tembakau, gugatan itu ditolak MK karena bertentangan dengan HAM.

Di samping itu, perwakilan tenaga kerja juga telah menyampaikan kekhawatiran akibat pasal-pasal tembakau di RUU Kesehatan. Ekosistem industri tembakau seperti pekerja juga telah meneriakkan rasa sakit hati dan khawatir atas potensi krimininalisasi akibat pasal-pasal tersebut.

"Penyetaraan tembakau dengan narkotika, psikotropika, dan minuman beralkohol dalam pasal-pasal bermasalah di RUU Kesehatan menyakiti perasaan kami sebagai tenaga kerja legal yang terus berjuang untuk mencari nafkah halal bagi keluarga kami," ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Sudarto AS.

Baca Juga: Cegah Pencemaran Lingkungan, Anne Ratna Mustika Gerakkan Program Berkah Sampah

Sementara itu, Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono mengatakan, Pasal 156 dalam RUU tersebut yang mengatur tentang standarisasi kemasan produk tembakau menimbulkan pertanyaan besar. Pasal tersebut menyebutkan bahwa kedepannya, Menteri Kesehatan lewat aturannya akan menjadi pihak yang berwenang untuk menentukan jumlah batang dalam kemasan rokok, bentuk serta tampilan kemasan.

"Jika RUU ini resmi disahkan, maka akan berdampak panjang pada seluruh elemen ekosistem pertembakauan. Masa depan ekosistem tembakau pun sudah tentu akan hilang dengan cepat secara legal," ujar Hananto kepada wartawan.

Hananto menegaskan ekosistem tembakau juga bukanlah pihak yang anti aturan, bahkan sektor ini sangat patuh terhadap regulasi. Tidak hanya itu, tembakau terus berkontribusi terhadap penerimaan negara dengan rerata 10 persen-13 persen dari porsi APBN selama lima tahun terakhir.

Dengan adanya aturan ini pun, Hananto mempertanyakan sikap pemerintah yang seperti menafikan sumbangsih tembakau terhadap perekonomian masyarakat, penyerapan jutaan tenaga kerja dan timbal balik terhadap kesehatan melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).

Bahkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 215/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, alokasi kontribusi cukai rokok kedua terbesar berada di bidang kesehatan sebesar 40 persen.

"Sudah saatnya Pemerintah dan Wakil Rakyat juga memberikan kesempatan ekosistem pertembakauan ini dapat bertahan, diberi perlindungan dan jaminan keberlangsungan," katanya menambahkan.

Baca Juga: Eropa Kejam Bunuh Sawit RI, Wamendag Jerry Sambuaga: Kita Lawan!

Menurut Hananto, sampai dengan saat ini ada sekitar 300 regulasi tingkat lokal dan pusat yang mengelilingi ekosistem pertembakauan. Saat pasal ini muncul yang menyebutkan standarisasi kemasan akan diatur oleh Menteri Kesehatan, otomatis akan bertentangan dengan aturan yang telah ada.

Terkait praktiknya, AMTI pun menilai pembentukan RUU Kesehatan ini mengabaikan praktik keterbukaan dan partisipatif. Pihaknya menyebutkan sejak awal pemangku kepentingan ataupun elemen ekosistem pertembakauan tidak diberi kesempatan untuk memaparkan realita yang terjadi saat ini, sekalipun Kemenkes sebagai pemrakarsa menyebutkan telah dilakukannya public hearing dengan para pemangku kepentingan.

"Kami berharap RUU Kesehatan yang saat ini sedang memasuki pembicaraan tingkat kedua di DPR RI tidak berakhir menjadi regulasi yang justru mengkriminalisasi ekosistem pertembakauan," ujarnya.

Penolakan keras juga datang dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) yang melihat aturan ini sebagai bentuk kezaliman Pemerintah dimana sejumlah pasal tembakau dalam RUU Kesehatan sangat diskriminatif terlihat dari wacana pengusul yang juga ingin menekan pergerakan petani tembakau.

"Pengusul tidak ingin tembakau ada di Indonesia sehingga kesannya ada monopoli. Bukan tidak mungkin kedepannya petani bisa ditangkap apabila menanam tembakau. pembeli pun juga akan memilih bahan lain karena takut dikenai pasal," kata Ketua Dewan Pimpinan APTI, Agus Pamudji.

Baca Juga: Ditinggal Beberapa Tokoh, Amin Fauzi Yakin Golkar Kabupaten Bekasi Tetap Digdaya di Pemilu 2024

Agus pun meminta agar Pemerintah tidak mematikan sektor ekonomi tembakau karena saat pasal ini disahkan kemungkinan produk tembakau hilang yang juga diikuti hilangnya rokok tembakau. "Ini adalah pasal yang begitu jahat dan undang-undang yang cacat karena dari rancangan hingga ke tahap pengesahan hanya disosialisasikan lewat media," ungkap dia.

Hal senada disampaikan Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi yang menjelaskan di pasal tembakau tersebut Kemenkes akan memiliki kewenangan dalam mengatur standarisasi kemasan produk tembakau yang dapat menimbulkan disharmonisasi antar kementerian.

"Jangan sampai kebijakan ini dinyatakan cacat formil setelah disahkan karena dalam proses pembentukan tidak melibatkan partisipasi publik yang maksimal sebagai salah satu syarat pembentukan undang-undang yang baik. Kami harap pemerintah dapat menghadirkan kebijakan yang adil dan berimbang serta mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial terhadap seluruh rantai pasok IHT," katanya.

Sebelumnya, Jubir Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Mohammad Syahril membantah, kabar Kemenkes dalam RUU Kesehatan menyamakan status tembakau dengan narkotika. Menurutnya, tembakau dan alkohol tidak sama perlakuannya dengan narkotika atau psikotoprika.

"Tembakau, alkohol dan juga narkotika dan psikotropika dalam RUU hanya dikelompokkan ke dalam pasal zat adiktif atau unsur yang memiliki ketergantungan jika dikonsumsi,” kata Syahril dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (14/4/2023).

Baca Juga: Gandeng Waskita Karya, Idris Laena Sosialisasikan Kontribusi BUMN Terhadap Pembangunan IKN

Dia menjelaskan, pengelompokan itu tidak berarti memperlakukan hal yang sama bagi tembakau maupun alkohol dengan narkotika dan psikotropika. Apalagi, kedua unsur tersebut memiliki pelarangan ketat dan hukuman pidananya.

"Narkotika dan psikotropika diatur dalam Undang-Undang khusus. Tembakau dan alkohol tidak akan dimasukan kedalam penggolongan narkotika dan psikotropika karena berbeda undang-undangnya," tutur dia. (sumber)

 

fokus berita : #Firman Soebagyo