15 Mei 2023

Setop Polemik Tembakau, Yahya Zaini Usul Dibuat Aturan Terpisah Dari RUU Kesehatan

Berita Golkar - Anggota Komisi IX DPR RI Yahya Zaini mengusulkan adanya aturan terpisah untuk zat narkotika dan tembakau. Hal itu diungkapkan Yahya dalam upaya solusi perdebatan dalam RUU tentang Kesehatan, yang salah satunya adanya pasal penyamaan zat narkotika dengan produk tembakau dalam satu kategori. Bakal regulasi yang akan terkandung dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan ini diharapkan minim polemik. 

"RUU ini masih dibahas. Sementara persoalan pasal 154, ada pasal 156 yang isinya tentang ketentuan lebih lanjut mengenai standarisasi kepuasan dan peringatan kesehatan belum masuk agenda pembahasan," ujarnya saat dikonfirmasi, Senin (15/5). 

Yahya mengatakan RUU ini belum dapat diajukan untuk dibawa ke rapat Paripurna. Pasalnya, belum selesai pembahasan di tingkat Komisi.

Menurut dia, DPR, khususnya Komisi IX, ingin memastikan RUU ini jika disahkan menjadi UU minim polemik. Dengan demikian perlu proses pembahasan yang lebih matang. "Kita usahakan demikian," tegasnya. 

Baca Juga: Gandung Pardiman Dukung Duet Prabowo-Airlangga Hartarto: Mereka Tak Sibuk Pencitraan

"Memang di dalam RUU disebutkan termasuk hasil produk turunan dari tembakau adalah rokok elektrik, dikategorikan sebagai bahan berbahaya. Nanti akan kita pisah secara lebih rinci. Kalau induknya produk tembakau dihilangkan dari RUU, rokok elektrik akan ikut. Memang pengaturannya harus berbeda, karena memang risikonya lebih kecil,” ujarnya.

Yahya menjelaskan industri tembakau telah menjadi bagian integral dari sejarah dan kebudayaan Indonesia selama lebih dari seratus tahun. Tidak hanya dari sisi penerimaan negara tetapi juga berdampak positif lantaran menjadi salah satu penyedia lapangan pekerjaan terbesar di Indonesia.

“Karena industri ini sangat membantu keuangan negara dan melibatkan banyak pekerja, kita akan berusaha melakukan pembicaraan dengan teman-teman fraksi yang sejalan agar masalah ini dicabut,” kata Politisi Fraksi Partai Golkar ini.

Selama ini, merokok adalah aktivitas legal yang dilindungi undang-undang. Tembakau sebagai bahan baku rokok merupakan komoditas perkebunan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan untuk meningkatkan pendapatan dan penerimaan negara. 

Baca Juga: Airlangga Hartarto Pastikan PSN Lanjut Meski Jokowi Sudah Tak Lagi Jadi Presiden 

Tidak hanya itu, soal produk rokok pun diatur dalam Undang-undang cukai nomor 39 tahun 2007, dan pajak lainnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Terpisah,  Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi mengartikan kekuatan hukum industri tembakau dan aktivitas turunannya bersifat kuat dan mengikat. Artinya produksi dan konsumsi rokok di Indonesia tidak bisa diilegalkan karena didukung dengan izin usaha resmi dan ditambah adanya kontribusi resmi terhadap negara.

Oleh karena itu, Benny menilai tidak ada urgensi yang jelas memasukkan tembakau dan rokok dalam satu kategori bersama psiktropika. Apalagi mengingat beban IHT dan industri turunannya sudah cukup berat untuk dapat merealisasikan kebijakan Pemerintah selama ini yang cenderung menekan.

“Lahirnya kembali RUU Kesehatan yang ikut mengatur ketat produksi dan penjualan rokok akan membuat IHT makin tertekan dan justru berpotensi menurunkan kontribusi dan dampak positif yang diberikan dari industri ini,” ungkap dia.

Baca Juga: Show Of Force! 35 Bacaleg Golkar Takalar Dikawal Ribuan Pendukung Saat Daftar Ke KPUD

Pasal tembakau dalam RUU Kesehatan menuai polemik dari beragam pihak. Dalam pasal zat adiktif, selain pasal 154 ada pula pasal 156 yang mengatur persoalan peringatan kesehatan. Termasuk di dalamnya standarisasi kemasan produk tembakau mulai dari kemasan, jumlah batangan, dan lainnya. Menurut dia, jika bicara tentang kemasan produk tembakau, pasal tersebut juga sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan 217/2021 yang merupakan regulasi pelaksana dari UU 39/2007 tentang Cukai.

Ini membuktikan deretan pasal tembakau dalam RUU Kesehatan akan menjadikan tumpang tindih dengan regulasi lain bahkan berpotensi menimbulkan disharmonisasi dengan kementerian lain. Diktuip dari data Kementerian Perindustrian, total tenaga kerja yang terserap dalam industri rokok sebanyak 5,98 juta orang yang terdiri dari 4,28 juta orang bekerja di sektor manufaktur dan industri dan 1,7 juta orang sisanya bekerja di sektor perkebunan. 

“Padahal IHT adalah industri yang legal di tanah air, sehingga dalam menyusun kebijakan yang ada penting juga melihat IHT dari seluruh aspek mulai dari ekonomi hingga sosial serta lebih transparan untuk mendengarkan aspirasi dari pelaku industri dan ekosistem tembakau yang terlibat” jelas Benny. (sumber)

fokus berita : #Yahya Zaini