The Golkar Way dan Perang Bintang 2024
10 Mei 2023
Berita Golkar - Apa masih relevan mendorong patron "The Golkar Way", pemikiran kritis Akbar Tandjung saat memasuki tahun transisi politik 1998? Apakah memasuki periode tahun politik 2024, Golkar masih menggunakan basis pemikiran, bahwa partai politik adalah lembaga politik yang harus dikelola dengan mind set kepemimpinan politik, yang memiliki idealisme, visi, menghargai proses, change and continuity, dan orientasi jangka panjang. Atau cukup mengikut arus saja? Politik zig-zagnya yang tanpa tedeng aling-aling seperti mengindikasikan pola perubahan mendasar dari politik lamanya.
Golkar seperti kebingungan, padahal mengantongi 85 kursi di DPR (12,3 persen suara). Dinamika tahun politik 2024 memang luar biasa, semakin keras saja tantangan dan kerja politiknya. Problem Parpol Masalah substansial yang dihadapi partai politik di Indonesia hingga saat ini, seperti argumentasi Dr Daniel Sparringa berpusar pada lima isu utama, yakni (1) organizational strength; (2) political party identity; (3) political party unity; (4) internal democracy; (5) electioneering capacity.
Kelima isu itu baik secara parsial maupun general, memiliki relasi dan interdependensi yang menentukan kinerja partai politik. Inilah tantangan yang sedang dihadapi para parpol, termasuk Golkar. Bagaimana menemukan strategi dan formula untuk menghadapi dinamika politik dengan memahami substansi masalahnya. Isu pertama, organizational strength, bagaimana soal kapasitas organisasional Partai Golkar, terutama kemampuan memobilisasi dan mengelola sumber daya personalnya.
Baca Juga: Ingin Argentina Vs Indonesia Digelar di Solo, Gibran Rayu Menpora Dito Ariotedjo
Sedangkan tantangan isu, political party identity, bagaimana pengembangan ideologi partai menentukan posisi partai terhadap isu-isu strategis yang berkembang. Bagaimanapun pertarungannya juga akan masuk pada soal keberlanjutan pembangunan dan persolan krusial IKN yang masih diliput polemik. Yang dirasakan makin krusial tentu saja, political party unity, bagaimana memelihara integrasi dan kohesi anggota dan pengurus partai agar tidak terjadi perang di internal partai.
Karena situsi ini paling mungkin terjadi. Salah satunya ketika keputusan partai mendorong calon internal sebagai capres, namun dalam tarik ulur politik, bukan tidak mungkin pilihan capres berubah menjadi cawapres. Terutama jika sudah berbicara calon-calon matang dan kuat elektabilitasnya.
Dan kondisi inilah yang sedang terjadi saat ini. Apakah internal demokrasi berjalan mudah ketika harus menegasikan demokrasi internal dalam pengambilan keputusan penting? Dan apakah problem electioneering capacity, terkait kemampuan memenangkan pemilu, soal isu-isu kampanye dan rekrutmen kandidat anggota parlemen, masih relevan dibicarakan atau lebih memprioritaskan soal koalisi? Ini problem serius yang dihadapi oleh kebanyakan partai politik, alih-alih menjalankan fungsi mediasi dan moderasi kepentingan konstituen, pendidikan politik dan rekruitmen elite kebanyakan partai lebih sibuk bertikai satu sama lain.
Baca Juga: Yakob Ingratubun Dorong Abisai Rollo Maju Pilgub Papua 2024
Lebih buruk lagi karena bertikai di antara mereka sendiri sesama anggota partai. Terutama ketika harus membuat kebijakan penting partai. Peristiwa di sekitar suksesi kepemimpinan partai politik menjadi ilustrasi yang baik untuk menggambarkan kuatnya kecenderungan partai sebagai ajang pertarungan kepentingan pemimpinnya.
Dengan kata lain, kebanyakan partai politik mengalami proses personalisasi melalui pemimpinnya. Perang bintang Pilpres 2024 Pascakeputusan dramatis PDIP mendorong Ganjar Pranowo sebagai capres, melengkapi daftar capres lain dari koalisi berbeda, Anies Baswedan dan Prabowo Subianto, politik Indonesia mengalami situasi layaknya perang bintang yang penuh kejutan.
Pilihan strategi Roadmap 2024 yang menjadi fokus Partai Golkar di bawah komando Ketua Umum Airlangga Hartarto, dengan memanfaatkan kekuatan konsolidasi partai seolah menjadi kurang greget meski dipersiapkan sejak 2021, dengan perubahan konstelasi politik baru tersebut.
Apakah strategi Golkar berikutnya masih difokuskan untuk meningkatkan elektabilitas dan popularitas Airlangga Hartarto? Atau sudah muncul penawaran lain semacam agenda Koalisi Besar karena selama ini Golkar tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
Baca Juga: Ridwan Kamil Soal Kasus Staycation Untuk Perpanjang Kontrak Kerja di Bekasi: Itu Kriminal!
Meskipun tawar menawar posisinya akan semakin rumit. PAN berharap KIB tidak bubar meski PPP berkoalisi dengan PDIP. Artinya bukan tidak mungkin PAN dan Golkar menyusl PPP ikut mendukung Ganjar. Jika nantinya terjadi pembicaraan soal siapa cawapres tentu dengan prinsip adanya nilai tambah untuk meningkatkan nilai elektoral, maka Golkar juga harus bermatematika politik. Setidaknya masih ada waktu berpikir hingga September 2023, saat pendaftaran dimulai.
Sementara di kubu Koalisi Perubahan yang mengusung Anies Baswedan, ada partai Nasional Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat. Di luar itu diketahui, Airlanga juga menemui AHY dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Golkar begitu masif bergerak mencari peluang, tentu saja karena harapannya mendorong Airlangga sebagai capres. Padahal posisi tawarnya kuat, mengapa harus memainkan politik zig-zag tersebut?
Dalam isu lain, Golkar juga membuka peluang untuk memasang Anies dan Airlangga. Dan wacana itu pernah disampaikan Golkar kepada Ketua Umum Nasdem Surya Paloh. Ada beberapa figur yang dicalonkan akan mendampingi Anies.
Termasuk Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimuti Yudhoyono (AHY) dan mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang merupakan Wakil Ketua Mejelis Syuro PKS. Termasuk tokoh NU seperti Gubenur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.
Golkar bahkan juga terlibat aktif dalam gagasan membangun Koalisi Besar bersama Gerindra dan PKB yang mendeklarasikan Koalisi Indonesia Raya. Namun jika tetap memaksakan Airlangga, seperti PDIP dulu mendorong Puan Maharani, barangkali akan lebih sulit menemukan pasangan yang pas untuk koalisi barunya.
Apakah Airlangga akan mengulang blunder saat bersama Aburizal Bakrie atau memainkan "The Golkar Way" versi baru? Bukan tidak mungkin jika Golkar pada akhirnya harus mengalah. Sebagaimana situasi terakhir PDIP berubah sikap 180 derajat dari semula.
Baca Juga: Puteri Komarudin Gelar Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan di Cilamaya Kulon, Karawang
Bagaimanapun dalam kesepakatan yang baru, PDIP dan PPP sudah mengusung Ganjar Pranowo. Peluang Golkar untuk mendorong koalisi baru masih ada, jika penjajakan dengan Demokrat dipertimbangkan. Apakah cukup memainkan basis partai? Karena baik Airlangga maupun AHY elektabilitasnya masih di bawah Ganjar, Anies, dan Prabowo.
Di sisi lain masih ada Prabowo Subianto dan Anies Baswedan dengan masing-masing partai pendukungnya. Apalagi jika kemungkinan Prabowo justru masuk ke barisan kuat PDIP dan PPP dalam formasi Ganjar-Prabowo. Hingga saat ini, setidaknya ada empat partai, yaitu Golkar, Gerindra, PKB, dan PAN belum menentukan sikapnya bergabung secara resmi dalam koalisi-koalisi yang ada.
Namun, menurut kabar terbaru dalam rencana pembentukan Koalisi Besar, PAN menyatakan keinginannya untuk hadir dalam undangan silaturahmi Lebaran di Istana Negara. Jika itu terjadi, baik Anies, Airlangga, AHY mungkin bisa mempertimbangan untuk saling merapat sebelum September mendatang, namun harus ada yang mengalah. Apakah kali ini Golkar masih yakin dengan kekuatan "The Golkar Way"-nya, dalam “Perang Bintang” yang makin keras? (sumber)
fokus berita : #Partai Golkar