06 Mei 2023

Mei, Bulan Bersejarah Saat Soeharto Kehilangan Mandat Dari Langit

Berita Golkar - Bulan Mei, adalah simbol rontoknya puncak gunung sistem pemerintahan otoritarian Orde Baru. Ini ditandai dengan lengsernya Soeharto dari tahta kepresidenan. Ia sendiri yang mengumumkan lengser itu di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 21 Mei 1998.

Banyak kisah diceritakan orang tentang peristiwa bersejarah ini sampai saat kini dan mungkin hingga entah kapan. Sabtu, 25 Frebuari 2023, keluarga almarhum Harmoko meluncurkan buku berjudul “Bersama Rakyat ke Gerbang Reformasi -Autobiografi Harmoko.”

Koordinator penerbitan buku setebal 640 halaman ini adalah putera bungsu almarhum Harmoko, Azisoko (Dimas) Harmoko yang kini memimpin surat kabar Pos Kota, Jakarta. Dalam buku ini Harmoko, antara lain berkisah tentang seruannya agar Soeharto mundur. Ini cukup banyak dibahas orang sampai saat ini.

Pada masa menjelang Soeharto lengser sampai masa awal pemerintahan Presiden BJ Habibie, Harmoko adalah Ketua Umum Golongan Karya dan Ketua MPR/DPR. Saya membaca buku ini, karena di halaman 469 almarhum Bung Harmoko menyebut nama saya. Ketika para pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi berunding untuk bertemu Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta, pada Kamis, 14 Mei 1998, berita saya saat itu menjadi acuan utama.

Baca Juga: Temui Teten Masduki, Bamsoet Bakal Gandeng Kamenkop UKM Di Berbagai Event Otomotif RI

“Ada dua materi pokok yang hendak kami konsultasikan (dengan Soeharto). Pertama tentang pernyataan di Kairo, Mesir, yang menyatakan Soeharto siap mundur. Kedua, tentang reformasi total, keinginan Soeharto mundur dan Sidang Istimewa MPR. Tentang materi pertama, kami mendasarkan pada pernyataan Presiden (saat itu) Soeharto sendiri. Ini antara lain saya baca dari pemberitaan Kompas edisi 14 Mei 1998, pada halaman pertama yang berjudul :’Kalau Rakyat Tak Menghendaki, Presiden Siap Mundur’.

Wartawan Kompas, J.Osdar menulis, pernyataan tersebut disampaikan Presiden Soeharto di depan masyarakat Indonesia di Kedutaan Besar Indonesia di Kairo, terletak di tepi Sungai Nil, pada 13 Mei malam sekitar pukul 19.00 waktu setempat atau pukul 23.00 WIB.”

Demikian salah satu catatan harian Harmoko yang dibukukan oleh keluarga almarhum. Sebelum lengser, Soeharto ke Kairo. Saya ikut dalam rombongan Soeharto. Ketika akan berangkat ke Kairo pada Sabtu pagi, 9 Mei 1998, banyak orang mengatakan kepada saya sambil berolok-olok, “apakah kalian bisa kembali ke Indonesia?”

Banyak yang sudah merasa yakin Soeharto akan jatuh. Namun Soeharto saat itu masih yakin akan bisa memperpanjang kekuasaannya. Ia juga bilang tidak masalah bila harus mundur. Namun banyak orang melihat pernyataan itu hanya kamuflase. Ia tetap bertingkah untuk berkuasa. Antara kata dan perbuatan sangat beda. Namun gaya untuk memperpanjang kekuasaan cukup canggih, tidak bodoh seperti, misalnya, melantunkan lagu konyol “data besar” (big data).

Baca Juga: Supriansa Desak Polri Usut Tuntas Motivasi Pelaku Penembakan di Kantor MUI

Dalam bukunya, Harmoko juga bercerita, beberapa hari sebelum keberangkatan Soeharto ke Kairo, adik Soeharto, Probosutejo menemui Harmoko. Probo minta Harmoko memberitahu kepada Soeharto agar tidak usah berangkat ke Kairo karena situasi di Indonesia sangat gawat.

Harmoko sempat tanya pada Probo mengapa sebagai adik tidak melakukan sendiri hal itu ke Soeharto. Probo bilang sudah meminta Soeharto tidak usah ke Kairo. Tapi nyatanya Soeharto tetap membandel pada rencananya.

Dua hari sebelum keberangkatan ke Kairo, Kamis 7 Mei 1998, Harmoko menemui Soeharto di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta. Harmoko minta agar Soeharto tidak usah ke Kairo untuk hadiri KTT G-15. “Belum selesai saya bicara, Pak Harto sudah memotong. ‘Tidak. Saya tetap ingin mengikuti KTT G-15. Keamanan di tanah air terkontrol. Saya akan pergi, ini penting.’ Begitu kata Soeharto,” demikian tulis Harmoko di halaman 470.

Penulis buku “Biografi Gus Dur”, (cetakan pertama tahun 2003), Greg Barton dari Australia antara lain menuliskan di halaman 292, seperti berikut. “Kalau kita ingat lagi sekarang, tampaknya aneh bahwa Soeharto saat itu memilih untuk menghadiri pertemuan puncak ekonomi di Kairo. Kepergiannya ke luar negeri waktu itu memang aneh. Jelas Soeharto sendiri tidak merasa bahwa dirinya terancam, dan barangkali dia punya alasan sendiri mengapa begitu percaya diri,” demikian tulis Greg Barton.

Baca Juga: Fraksi Partai Golkar DPRD DKI Jakarta Dukung Kebijakan Cabut KJP Siswa Merokok

Di bawah subjudul “Soeharto kehilangan mandat langit”, Greg Barton juga menuliskan, pada waktu yang sama Soeharto kelihatannya makin bertindak kurang rasional saat itu. Greg Barton membuka tulisannya tentang Soeharto kehilangan mandat langit, dengan mengatakan, dalam literatur Asia Tenggara tradisional, keadaan alam sering kali dikaitkan dengan kekuasaan penguasa.

“Oleh karena itu kegagalan dalam alam, ketidak-seimbangan alam atau serangkaian bencana, menunjukan bahwa terdapat masalah dengan sang pemimpin. Hal ini yang ditafsirkan oleh banyak orang Indonesia ketika bencana menimpa mereka pada tahun 1997,” demikian tulis Greg Barton, salah satu sahabat Gus Dur itu.

“Waktu itu kemarau terpanjang sejak kemerdekaan, melanda negeri. Ketiadaan hujan menyebabkan gagal panen dan sejumlah tempat yang biasanya tak mengenal kelaparan, beribu-ribu orang menderita kurang makan. Ketiadaan hujan bukan hanya menghancurkan tanam-tanaman, tapi juga menimbulkan kebakaran hutan……,” lanjut Greg Barton tentang jelang Soeharto lengser.

Kembali ke buku Harmoko. Almarhum juga menyampaikan apoligianya atas tuduhan berbagai pihak bahwa dia mengkhianati Soeharto seperti Brutus menikam Julius Caesar (sejarah kuno Romawi) ketika menyerukan keputusan para pimpinan DPR agar Soeharto mundur pada Senin sore, 18 Mei 1998. Padahal sebelumnya, Harmoko telah mengumumkan keputusan Golkar tentang pencalonan kembali Soeharto untuk ketujuh kalinya (1998-2003).

Baca Juga: Menpora Dito Ariotedjo Hadiri Pembukaan SEA Games 2023 di Kamboja

Menurut Harmoko, keputusan Golkar mencalonkan kembali Soeharto sebenarnya untuk memenuhi sinyal-sinyal yang ada bahwa Soeharto sebenarnya tetap ingin berkuasa. Selain itu sebelum menyerukan agar Soerharto agar mundur secara terbuka, Harmoko bersama para pimpinan DPR dan fraksi-fraksi di DPR telah menyampaikan terlebih dahulu ke Soeharto. Katanya, saat itu Soeharto mengatakan, hal itu terserah kepada DPR.

Tapi apa pun yang terjadi saat itu, akhirnya Soeharto lengser. Alam semesta sudah menarik mandatnya untuk berkuasa. Greg Barton pun memberi catatan yang saat ini tetap harus kita renungkan. “Harus ditekankan bahwa dalam banyak hal yang penting, rezim Soeharto tetap hidup dalam waktu yang lama setelah Soeharto lengser,” tulis Greg Barton dalam bukunya “Biografi Gus Dur” di halaman 469.

Secara samar-samar saya juga masih ingat ucapan Soeharto dalam pidato resmi di Istana Kepresidenan Jakarta tahun 1990-an, “Orde Baru akan hidup 1000 tahun.”

Setelah saya menuliskan kalimat ucapan Soeharto itu di Kompas, seorang pengusaha kaya di Jakarta, mengundang saya ke kantornya di wilayah Slipi, Jakarta. Kita ngopi saat itu. Sang pengusaha saat itu banyak senyum. Mungkin saat ini masih senyum. (sumber)

 

fokus berita : #Soeharto